Dewasa ini sebagaian umat Islam di Indonesia khususnya, secara terangan-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia Islam, baik dibidang ekonomi, politik, budaya dan lain-lain, yang berasal dari timur maupun barat. Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cenderung bersikap resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat Islam dari pengaruh negative berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka juga berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan Islam dan identitas kaum muslimin.
Dalam banyak kesempatan, kelompok diatas yang menolak pengaruh luar secara mutlak dan yang menerima secara mutlak sering kali terlibat dalam dan perselisihan panjang, yang menyita banyak waktu dan tenaga. Misalnya saja, ketika mereka harus menentukan sikap di hadapan peradaban Barat pada umumnya, atau sikap terhadap orientalisme di Barat, gelombang globalisasi dewasa ini, dan berbagai isu kontemporer lainnya.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat Islam yang lain cenderung menerima apa yang datang dari Timur maupun Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konsevatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari Negara-negara maju merupakan factor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan.
Dr.ar-Rakhawi 1999, dalam salah satu artikelnya seputar Globalisasi dan Pluralitas, mengisyaratkan bahwa ia ingin melangkah lebih jauh dari apa yang pernah dipaparkan oleh penulis dalam tulisan Islam di Era Globalisasi. Ia melihat bahwa banyak pembicaraan tentang globalisasi yang hanya menkankan pada sarana, bukan pada tujuan yang semestinya dicapai, dan terlalu memperhatikan hasil dari sebuah proses menurut jenis dan perkembangan segala yang ada (wujud). Di samping itu, Rakhawi juga menekankan pentingnya menemukan dan menelaah hakikat eksistensi (wujud) manusia. Ia mengatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah suatu keharusan objektif, demi menjadikan manusia sebagai manusua. Kerena itu, kehidupan akan menjadi berbeda sama sekali seandainya wujud Allah bergantung pada realitas yang sebelumnya tak pernah ada.
Anggapan semacam ini adakalanya mengesankan bahwa kita terlalu memperhatikan sarana dan kuantitas keberhasilan, tanpa melihat pada inti permasalahan yang tersarikan dalam sebuah kesadaran tentang wujud Allah, sehingga mampu mempertinggi kualitas hidup kita. Kerena itu, mesti ada penelaahan kembali untuk memperjelas pola pandangan kita, agar nantinya tidak terjebak dalam absurditas maupun salah paham.
Dari gambaran tersebut, idealnya, kita tidak mengambil posisi sebagai pendukung atau penentang globalisasi. Tetapi, kita harus menyikapi globalisasi (juga pemikiran luar lainnya) secara kritis. Dan penulis sendiri berkeyakinan bahwa kaum muslimin memang harus mengambil sikap kritis dengan menelaah setiap permasalahan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesah-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disertai kesadaran yang utuh.
Ronald Lukens-Banteng, di dalam salah satu artikelnya yang jelelaskan tentang Komodifikasi AGAMA DAN ‘RELIGIFICATION’ KOMODITAS-budaya dan Remaja identitas agama 2016. Dimana selama Orde Baru (1965-1998), Indonesia menghadapi peningkatan keterlibatan dalam komunitas ekonomi dunia dan perkembangan ekonomi yang pesat dan perubahan sosial (Modernisasi). Kehadiran entitas multinasional seperti Pizza Hut, McDonald dan Wendy, di kota-kota pernah digambarkan sebagai stasiun bukit mengantuk, hanyalah salah satu indikasi perubahan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Konsumsi budaya populer dalam bentuk MTV, makanan cepat saji Amerika, mode Barat dan film-film Amerika dan televisi adalah salah satu cara di mana komoditas menjadi ideologis dimuat. Banyak pemuda mengenakan celana jeans biru, pergi ke diskotik dan dikonsumsi budaya populer Amerika karena hal ini dilihat sebagai ‘modern’, ‘Barat’, dan karenanya diinginkan. Banyak pemimpin Islam menyatakan keprihatinan untuk gaya hidup mendorong dengan konsumsi barang dan jasa tersebut.
Pada titik singgung seperti itu, menurut hemat penulis, ada beberapa catatan penting yang harus digaris bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa Islam sebagai agama-bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporer belaka-seharusnya tidak perlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, kerena ia memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru yang bermunculan. Sehingga dengan demikian, beragam pengaruh luar dan dalam tak perlu dikhawatirkan oleh Islam, selama umat Islam sendiri mampu memahami agama mereka dengan benar, dan menghayati secara utuh tujuan, target, maupun mutiara yang terkandung di dalamnya.
Kedua, harus didasari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyatan yang tak mungkin ditolak. Pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita.
Memang, globalisasi mengandung anasir-anasir pokok dan elemenmter. Tetapi, kenyataannya, ia telah mengurung umat manusia di seluruh penjuru dunia dari berbagai arah. Hal itu tercermin lewat berbagai bentuk. Misalnya saja, mendunianya fast food dan soft drink seperti hamburger atau coca cola, trend pakaian semacam jeans, siaran tv, flm, dan pementasan budaya yang positif maupun negative, serta berbagai sarana kenikmatan yang lain.
Tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban yang ditulis pada tahun 1993 M. sempat menimbulkan guncangan besar di dunia Barat dan Timur; seperti halnya gem dan reaksi yang timbul akibat analisa Fukuyaman tentang berakhirnya sejatah (the end of history) 1999. Dan merupakan fenomena yang wajar jika banyak peneliti dan pemikir Islam turut membahas kasus ini, khususnya Hungtington adalah pembahasanya telah berbicara mengenai Islam, bahkan merekayasa bahwa inti benturan peradaban di masa yang akan datang akan berporos pada polemik peradaban Barat pada satu pihak dan peradaban Islam serta Konghuchu di pihak lain. Hungtington telah memaparkan pola pemikirannya pada tahun 1996 M.
Sebenarnya apa yang dipaparkan Hungtington tentang peradaban bukan merupakan hal yang benar-benar baru. Tetapi, kesempatan yang dipakai Hungtingtong guna melontarkan ide-idenya itu, sangat kondusif untuk sosialisasi dan dialog yang lebih luas berikut respon besar dunia. Ide-ide ini dimunculkan pasca usainya perang dingin, dan menyusul praduga mantan Presiden AS Richard M. Nixon tentang pergolakan yang pasti akan terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Kemudian apa yang diungkapkan oleh Sekjen NATO ketika itu, bahwa Islam adalah bahaya yang akan menjelang atau musuh baru begitu Uni Soviet runtuh. Kendati pada kesempatan lain sebelum keruntuhan Uni Soviet, bangsa Barat dan umat Islam pernah berjajar di satu barisan dan bekerja sama menghantam komunisme.
Tampaknya keadaan sudah berubah pasca keruntuhan itu. Akibatnya timbul asumsi baru yang meyakinkan bahwa tesis Hungtington akan lebih merupakan peringatan tentang sebuah arus keamanan baru di dunia Barat, ketimbang merupakan dialog antar peradaban.
Realitas tersebut dapat memberi gambaran yang utuh tentang masa depan hubungan Barat dan Timur, lebih tepatnya antara peradaban Barat dan peradaban Islam. Polemik ini akan melahirkan motivasi baru serta petunjuk kepada berbagai aliran dalam Islam yang gerakan-gerakannya mengarah kepada pengentasan rencana-rencana penggerogotan terhadap Islam dan segenap kaum musliminnya, baik rencana-rencana rahasia maupun yang terang-terangan, dengan dibantu oleh saksi-saksi dan fakta-fakta yang membuktikan kebenaran gerakan itu. Di sini, Penulis hendak menganalisa kasus polemik antar peradaban budaya dan politik dari beberapa sisi yang barangkali jarang mendapat perhatian.